Kamis, 05 Desember 2013

Sedikit Tafsiran


Oleh : Miftahul Khoiriyah Al Istiqomah
(05 Desember 2013)
Kebanyakan dari kita sangat anti dengan sebuah hal yang tidak layak disepakati oleh kalangan umum. Apa yang tidak baik menurut kita akan menyandang kata “negative” meskipun tidak menjadi sebuah jaminan pandangan itu diterima oleh manusia selain kita. Segala sesuatu yang sinergi dengan negativitas akan menimbulkan banyak ketakutan karena pikiran kita yang telah terkonstruk atau memang dengan sengaja kita konstruk untuk melinearkan keduanya. Pada masa Orde Baru, sadar atau tidak semua yang hidup pada masa itu sedang diselimuti dengan banyak tekanan serta kebebasan yang sangat terbatas. Pada kaca mata kecil saya sedikit memandang refleksi yang kurang tepat akan peristiwa masa lalu itu menjadi hiasan aktifitas kita untuk saat ini. Mengutip kalimat dalam buku ini yang berjudul “Memahami Negativitas Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma”. Sebuah kalimat yang kemudian mengingatkan dan menyadarkan saya bahwa ini mirip dengan apa yang saat ini saya alami bersama mereka yang sedikit banyak orang katakan sebagai pejuang. Kalimat ini “takut kebebasan, rindu dikuasai”.
Ini seharusnya menjadi keresahan tidak hanya pada segelintir orang tapi untuk semuanya. Ketika kita memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk menghadirkan kebenaran di kampus atau ditempat manapun, kita hanya diam dan seolah nyaman dengan kebodohan serta kesalahan yang seharusnya bisa diluruskan itu. Entah kurangnya kesadaran atau pemahaman yang sangat minim atau mungkin ketidakpedulian itu disebabkan oleh perasaan mereka yang merasa tidak adanya kepentingan didalam setiap hal yang terjadi disekitar mereka. Mungkin perlu merasakan bagaimana para pendahulu kita berjuang dengan gigih untuk mampu menyuarakan apa yang mereka anggap benar, untuk sekedar sadar dengan ketimpagan yang saat ini sedang terjadi.
Bukti konkrit tentang keacuhan itu, mahasiswa hanya diam dan tak banyak yang bergerak dengan apa yang seharusnya tidak terjadi. Pemilu kampus FISIP Universitas Jember yang redup seakan menjadi kewajaran dan ini tidak mendapatkan perhatian sama sekali di mata maupun telinga para penerus bangsa ini. HIMAHI sudah cukup lama “redup” menurut saya. Sejak  sistem aklamasi dicetuskan dan ini membuat cideranya pemilu maupun sistemnya. Aklamasi yang diingnkan KPU ini tidak tercantum dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis membuat warga HIMAHI seharusnya gigih untuk meluruskan apa yang seharusnya tidak terjadi ini. Semangat itu muncul juga diimbangi dengan keinginan untuk memperjuangkan kebenaran yang selama ini digembor-gemborkan. Tapi menjadi sebuah kekecewaan karena kabijakan oleh mereka yang seharusnya menjadi penengah untuk kami tidak bisa berlaku selayaknya penegah atau mediator dengan adil. Akhirnya isu itu pun redup kembali dan semakin sedikit orang yang peduli akan hal ini. Jika hanya sepuluh dari seratus yang berusaha meluruskan kesalahan-kesalahan ini, akhirnya dipertanyakan keberadaan mereka yan jumlahnya sembilan puluh itu. Menjadi pemahaman pula akhirnya bahwa sekian banyak orang ini rindu untuk dikuasai sehingga kebebasan yang dimiliki dan sepenuhnya merupakan hak mereka, tidak dipergunakan. Cukup ironis bukan, karena nantinya negara yang selalu dikatakan demokratis ini dikuasai oleh bagian dari orang-orang semacam ini. Tidak terbatas pada satu himpunan jurusan itu saja. Keacuhan seakan juga dirasakan dan dialami oleh bagian dari mahasisiwa Diploma III yang terhambat sebuah regenerasi kepengurusan karena kurangnya simpati dari warga didalamnya. Beberapa waktu yang lalu juga itu dialami oleh mahasiswa Ilmu Administrasi dengan sedikit gangguan karena sulitnya menumbuhkan keinginan untuk ikut andil dalam proses pemilu dalam ranah penyelenggaranya. Di kampus kita, beberapa kasus ini hanya sebagain kecil persoalan yang meresahkan karena masih sangat banyak dan komplek permasalahan yang sesungguhnya ada.
Kemudian muncul perasaan sendiri dalam sebuah medan perjuangan tampaknya dirasakan oleh sepuluh dari seratus orang ini. Perasaan sendiri karena memang mereka hanya seagian kecil atau kaum minoritas diantara para sumber daya yang ada. Namun ketika sedang sendiri, tetap bukan menjadi sebuah alasan untuk berhenti dan diam dalam ketidakbenaran ini. Karena sendiri atau tidak bukanlah hal yang akan dipertanyakan dan kita akan berada pada kerajaan Tuhan. Octavio Paz mengatakan “perasaan bahwa kita ini sendirian memiliki makna ganda : di satu pihak perasaan itu adalah kesadaran-diri; dan di lain pihak perasaan itu adalah suatu dambaan untuk melarikan diri dari diri kita sendiri”. Semua terserah pada diri kita apakah sedia dengan perasaan-perasaan itu atau tetap berjuang dengan menafikan semua perasaan kesendirian yang memungkinkan untuk ada.
“Tak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tak dikenal”-Elias Canetti. Sebuah ungkapan yang sedikit mengarah pada kebiasaan kita yang sadar akan hal itu. Dengan lantang dan beraninya kita suarakan apa yang menjadi kegelisahan kita diruangan bersama sahabat atau keluarga kita. Didalamnya terdapat kawan yang sesungguhnya “tampaknya”. Keberanian itu muncul karena keramahan dan sedikit keakraban serta pemakluman yang nanti dijamin pemberiannya. Entah bagaimana sebenarnya kita berfikir atau sedikit memaknai keadaan sekitar kita. Terkadang tak sampai terbaca oleh rasio yang cukup terbatas ini. Jangankan persenthan dengan mereka yang mungkin tidak kita kenal atau tak kita pahami itu. Sekedar memberikan suara tentang sebuah kebenaran ketika kita berada ditengah-tengah mereka tapi sendiri, jauh dari mereka yang kita sebut sahabat menjadi hal langka yang tak dimiliki oleh setiap kita yang sering disebut penggerak dan pembawa perubahan. Tak mengenal bukan berarti menjadi sebuah definisi bahwa mereka adalah yang tidak sempat bersapa atau kita yang tak berada pada pemahaman mereka. Definisi itu terlalu sempit, sehingga tak dikenal bisa mencakup mereka yang mungkin tak sejalan dengan kita, tak searah, dan mungkin tak berada pada tatanan nilai yang kita yakini. Sunguh luar biasa ketika dalam kesendirian pun kita mampu bertahan, berjuang demi titik-titik kebenaran dan tak pernah mengundurkan langkah kaki yang seharusnya kita yakini akan pertolonganNya. Ini menjadi pandangan subjektifitas yang pasti tak sama dengan lainnya. Semua orang berhak memiliki subjektifitas itu. “jangan jago kandang” kalimat yang sering menjadi gemboran untuk suntikan semangat yang berawal dari sebuah tantangan dan akan ada konsekuensi setelahnya. Pertanggungjawaban itu yang akan diminta dan dipertanyakan.
Selanjutnya tentang massa dan tindakan kolektif. Akan muncul banyak pandangan dan pemahaman tentang hal itu. Massa bisa diartikan sebagai mereka yang berada pada sebuah kerumunan, keramaian, kerusuhan, serta kumpulan setiap manusia yang mengacu pada kegiatan-kegiatan yang melampaui batas institusional. Namun kemudian tidak selalu bisa dibenarkan pandangan ini. Pendapat itu menunjuk pada kuantitas dari setiap kegiatan dan mengacu pada jumlah yang besar. Dapat dipahami juga bahwa massa merupakan definisi dari mereka yang berada pada suatu tempat dengan usaha konsentrasi mereka yang tidak akan bertahan lama. Pemahaman juga akan muncul bahwa perkumpulan itu bisa disebut massa selama mereka tidak berada dalam lingkup hukum yang melindungi mereka dan keluar dari situasi normal.   
Tidakan kolektif, tampak dalam pemahaman bahwa segala hal yang menjadi aktifitas bersama. Tampak terlalu sederhana dalam memaknainya. Tidak sebatas itu ketika kita membuka lebih lebar cakrawala dialektika sebagai akademisi atau sekedar manusia yang memanfaatkan rasio sederhananya. Massa dalam pemahaman yang mengarah pada tindakan anarkis atau kerumunan dari individu-individu bisa disandingkan dengan tidakan ini. Karena setiap individu yang bergerak sendiri masih belum termasuk didalamnya. Dalam pemahaman yang diberikan Aristoteles bahwa tindakan-tindakan itu menjadi kebebasan untuk memilih, keterarahan ke suatu tujuan dan alasan-alasan rasional. Ketika menengok pendapat Weber, dalam memahami tindakan kolektif akan mengarhkan kita pada tindakan sosial.

Mereka yang tenggelam dalam kekelaman tidak akan menggembor-gemborkan tentang keterpurukan mereka, “seharusnya” yang sampai saat ini belum menjadi kewajaran. Semua bungkam karena memang menjadi rahasia yang tidak sederhana dalam jawaban atas hal yang mampu memicu kembali banyak tanda tanya itu. Richard Rorty memberikan pandangan dalam kalimatnya “rasa sakit itu terkatakan: ia adalah sesuatu yang menghubungkan kita manusia dengan binatang-binatang  yang bungkam. Demikianlah para korban kekejian, manusia yang menderita tidak mempunyai banyak kata”. Perlu menjadi ingatan untuk kita bahwa rentetan kalimat itu tentu masih menimbulkan pertentangan krena ketidaksepahaman satu dengan lainnya. Dia yang masih mengeluh pada kondisi yang terpuruk cukup menunjukkan bahwa mereka tidak lagi memperjuangkan hidupnya untuk ketinggian, demi sebuah kemajuan, bahkan untuk mengarah pada hal yang lebih baik, namun rasa terpuruk karena keluhan dan mungkin mengarahkan diri untuk tenggelam dalam kelumpuhan, menjadikan hidupnya kelam dengan segala keburukan yang menjadi faktor tidak adanya progress dalam mewujudkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Begitulah tampaknya perlu banyak proses pada kehidupan yang “harus” dan “wajar”, tidak cukup pada satu kotakan semata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar