oleh:
Miftahul Khoiriyah Al Istiqomah
(06
November 2013)
Keniscayaan
dalam normatif
Kita—mau
tidak mau—sudah melekat dalam diri ini sebagai insan PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia) yang sejak awal diajarkan untuk mengamalkan tiga elemen Nilai
Dasar Pergerakan (NDP). Tiga elemen itu adalah ada hablumminallah (hubungan dengan Allah), hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablumminalalam (hubungan dengan alam).
Ketiganya perlu untuk dilaksanakan secara komprehensif, artinya dengan tidak
meninggalkan atau memisahkan salah satunya, karena pada hakikatnya ketiga hal
tersebut berakar pada keyakinan kita akan keberadaan dan keEsaan Allah.
Sikap
keseimbangan (Tawazun) dalam mengamalkan ketiganya menjadi hal yang
tidak mudah—walau bukan hal yang mustahil—untuk diimplementasikan. Ambil contoh
bahwa hampir setiap hari kita seolah diresahkan dengan keadaan sosial kita yang
mungkin ditafsirkan sebagai hal yang terus-menerus “keliru”, dan mungkin tidak
banyak yang berfikir tentang kebaikan yang mungkin terjadi untuk umat
dilingkungan sosial kita.
Berfikir
untuk menyelesaikan persoalan terkait kondisi sosial dengan selalu berbicara
banyak teori yang sudah masyhur oleh beberapa orang tokoh merupakan rutinitas
yang tentu dapat menjadi rujukan pada NDP yang kedua yaitu hubungan dengan
sesama manusia. Ini bukan lagi menjadi sesuatu yang salah karena memang ketika sebagian
kecil—kalau bukan tidak ada—yang sadar dengan hal yang sudah dianggap remeh ini,
maka nilai kita sebagai seorang PMII yang menggunakan Ahlussunnah wal Jama’ah
(ASWAJA) sebagai landasannya akan dipertanyakan bahkan diragukan.
Akan tetapi akan menjadi hal yang kurang tepat atau
bahkan salah ketika hubungan baik dengan sesama manusia tidak dibarengi dengan
hubungan baik kita kepada Sang Pencipta. Disadari atau tidak, sebenarnya kita
ini haus akan ilmu pengetahuan agama atau sekedar kajian yang berbasis tentang
keagamaan. Seperti yang terjadi selama ini adalah sepinya kegiatan yang
dilaksanakan dengan topik pembahasan keagamaan. Jika setiap hal yang
dilaksanakan oleh warga pergerakan dimaknai dengan sebuah perjuangan, tentu
setiap rutinitas yang diharapkan membawa kemanfaatan itu tentu bisa berjalan
beriringan antara satu dengan yang lainnya.
Faktanya
tidak seperti itu, banyak diantara kita yang lebih memilih warung kopi sebagai
medan perjuangan, ketika dikatakan bahwa semua adalah bentuk perjuangan yang
berwarna. Hasilnya tidak mengindahkan kegiatan yang diadakan sebagai bentuk
untuk mendekatkan diri kepada Sang Kuasa. Ini menjadi sangat memalukan dan
meresahkan kepada kita yang sadar akan pentingnya keseimbangan disetiap nilai
dalam kaca mata insan PMII sesungguhnya.
Realitas
momentum
Kita
adalah bagian dari warga pergerakan yang masih berada dalam lingkup dunia kampus
dan dunia sosial serta tentu memiliki kesempatan untuk berproses bersama dalam
mengamalkan setiap segala sesuatunya dari NDP. Namun sangat disayangkan, ambil
contoh ketika setiap Jum’at sore kita menjalankan rutinitas jama’ah “shalawat
nariyah” yang hanya diikuti oleh sebagian kecil dari jumlah seluruh warga
pergerakan (khususnya) yang ada.
Karena
bagaimanapun innamal a’malu bin niat, karena itu tidak mungkin juga
memaksakan. Hal ini harus berangkat dari kesadaran. Shalawat adalah aktifitas
mulia yang bisa memberikan cahaya bagi kita. Tanpa kemudian memandangnya
sebagai apa, bukan siapa, undzur ma qola wala tandzur man qola. Kebutuhan
kita tidaklah terbatas pada kehidupan untuk dunia saja. Kehidupan akhirat yang
merupakan kebutuhan sesungguhnya menanti kita dengan amal ibadah yang menjadi
bekal untuk mengahadapNya kelak.
Menjalankan
salah satu shalawat dari sekian banyak macam bacaan shalawat kepada Nabi
merupakan salah satu jembatan untuk menuju pada kehidupan akhirat yang lebih
baik. Terlebih hari yang kita gunakan adalah hari jumat yang diyakaini sebagai
hari yang lebih mulia dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Akan menjadikan
derajat kita lebih tinggi dan lebih dekat pula dengan kekasih Allah ketika
shalawat hari jumat itu kita laksanakan.
Dalam
hadist shahih yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:
“Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari Jum’at
karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari Jumat, maka
barang siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat
derajatnya denganku.”
Betapa
mudah dan mulianya Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk semakin dekat dan
menjadikan kita sebagai seorang yang benar-benar PMII dari segala aspek. Individu
bisa kita peroleh dengan tidak perlu bersusah payah dan kita pun tetap bisa
menjalankan aktifitas sosial kita pada waktu selebihnya.
Keutamaan
shalawat
Shalawat
merupakan satu-satunya pekerjaan mulia yang tidak hanya dilaksanakan oleh
manusia saja. Akan tetapi bukti mulianya bershalawat juga dibuktikan dengan
adanya firman Allah yang menunjukkan bahwa shalawat atas Nabi tidak terbatas
dilakukan oleh seorang hamba tapi juga oleh Allah SWT. Jelas dalam surat Al Al-Ahzab
surat 56 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat(memuji
dan berdoa) atas Nabi (Muhammad SAW). Wahai orang-orang yang beriman
bershalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan
kepadanya.”
Tentu
akan berbeda makna ketika shalawat diucapkan oleh seorang hamba dengan
diucapkan oleh sang Khaliq. Jika shalawat yang diucapkan oleh manusia merupakan
doa agar Nabi Muhammad selalu diberi rahmat oleh Allah SWT, maka shalawat yang
diucapkan oleh sang pengasih adalah bentuk rahmat/kasih sayang atau bentuk
pujian dari Allah kepada beliau.
Wallahu
a’lam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar